Friday, July 11, 2014

Ibarat Gunung, Ibarat Musik.


Salah seorang kawan Facebook saya, menulis didalam catatannya :

"Jika sudah terlanjur menggunduli hutan di sebuah Gunung, ya, harus konsekuen memikirkan --terasering-- berdasar realitas yang ada dipermukaan tanah. Upaya penyiasatan sebagian-sebagian, hanya mengulur waktu sampai Gunung itu hilang saat bencana Hujan Deras datang".

Menyo'al Indonesia yang tertimpa 'hujan deras' budaya investasi Neo Kapitalisme.

Saya kira, Ideologi Negara itu ibarat Partitur Nada dari sebuah pertunjukan orkestrasi musikal. Bayangkan sebuah orkestrasi musik, yang, masing-masing pemain instrumennya, berimprovisasi sendiri-sendiri, pat-pat gulipat mencari peluang keuntungan sendiri-sendiri, saling menunggangi dalam koalisi, saling berebut dalam kolusi, bersama-sama mengkhianati ideologi negara, yang kita ibaratkan tadi sebagai terkhianatinya harmoni PARTITUR DASAR PANDUAN notasi JUDUL LAGUnya.. Jadilah Pertunjukan Hiruk pikuk beradu kepentingan dalam satu kesatuan komposisi Azas dasar negara, yang tanpa sengaja tak tergubrisnya inti masing Sumpah Jabatan pejabat negara? Hingga serupa dan persis tak terhiraukannya lagi isi Pancasila dan UUD45 oleh rata-rata rakyat negeri ini? Sang Maha sudah mengingatkan melalui aneka fenomena, diantaranya, Ketua MA dan Menteri Agama, masuk Penjara. Tidakkah itu menjadi alat baca pada irama Kerakyatan kita sebagai sebuah Bangsa?

Keroco Mumet.

Demi lahirnya pertumbuhan Nalar pada seluruh Rakyat Indonesia sebagai sebuah Bangsa, kali ini saya coba, share sebuah pemikiran dari seorang kawan di Facebook/Sekar Suket. 
Begini paparan beliau: 



Mau menggerakkan massa secara efektif? Membangkitkan kemarahan atau menimbulkan simpati? Membuat mereka beringas atau meneteskan air mata? GAMPANG! Sebut nama Tuhannya dan kobarkan issue agama! Pasti langsung terbakar. Bukankah sejarah mencatat bahwa darah manusia paling banyak tertumpah karena issu agama? Padahal semua perang adalah masalah politik dan ekonomi, bukan agama.

Perang Salib itu bukan perang agama, tetapi perang perebutan teritorial. Perang Bosnia itu bukan perang agama, tapi perang politik yg kebetulan terjadi antara dua etnik beragama berbeda. Perang Irlandia, bukan perang agama walaupun kebetulan terjadi antara orang katolik dan orang protestan, tapi kembali merupakan persengkataan politik dan ekonomi. Waktu USA turun ke medan perang Teluk, itu bukan perang Kristen vs Islam, tapi perang utk melindungi kepentingan ekonomi. Persengketaan Palestina vs Israel, itu bukan perang Islam vs Judaisme, tapi perang perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina menghadapi penjajahan Israel.

Monday, February 24, 2014

Ibu Pertiwi.




Maaf, ini saya share pemikiran, dari seorang kawan, "pemikiran-pemikiran tentang realitas negeri ini tidak perlu tergantung siapa dahulu nama orang yang melontarkannya. Sebaiknya tidak mengharap kultus, karena di dalam kultus ada monopoli pengaruh yang justru menyuburkan neo kapitalisme" Begitu menurut kawan saya. 

Nah, baiklah kita simak saja pemikiran beliau itu:



Adalah
tidak mungkin
mengembalikan track terapan ideologi Pancasila
dapat secara konsekuen dan murni di negeri ini,
saat semua kebutuhan rakyat di semua sektor nya
sudah melekat kuat terkelola oleh korporasi raksasa swasta dunia dan domestik.

Lagi pula setelah presiden kedua lengser
sampai detik ini, baru muncul keinginan itu dari LEMHANAS?
"Kita harus mengembalikan track Pancasila pada Rel nya"

Ooo ..
Saat tragedi kemanusiaan
akibat dua sistem yang dipaksakan
dalam satu wadah yang bernama Indonesia,
terjadi berpuluh tahun?
Jadi trauma pyscologis
merubah paradigma mentalitas Nasionalisme rakyat,
jadi aneka tragedi kemanusiaan?
Ratusan nyawa sudah berguguran terakibat rendahnya harkat rakyat,
demi berlimpahnya keuntungan kolusi dari Kekuasaan !!
Ya, terlanjur terestafet jadi aneka bentuk tragedi kemanusiaan..

Thursday, February 20, 2014

RECTOVERSO INDONESIA.

(Pada era presiden kedua, 27 propinsi diwajibkan setor dana APBD nya masing-masing ke Pusat. Golkar sangat berlimpah dana pada masanya dulu. Namun mengapa, PNS masing departemen dan juga Guru-Guru yang tergabung di dalam Korpri, sebagai bagian penting dalam Tulang Punggung Negara : bergaji sangat rendah? (Bahkan sering telat) Mengapa? Karena secara politik, itu memang diharapkan, kembali dengan bertopeng cita-cita mulia: agar para PNS dapat lebih kreatif mencari tambahan kebutuhannya. Namun itu justru merusak paradigma mentalitas Nasionalisme serta melahirkan budaya baru yang menjalar ke lingkup masyarakat luas. Munculnya budaya salam tempel, uang pelicin, uang dengar, dlsb itu merusak seluruh etos kerja didalam sistem kinerja tubuh tata kepemerintahan. Dari sisi Guru di saat itu, seperti apa mutu dan kualitas anak didik yang dihasilkannya, di 30 tahun yang akan datang? Terapan standar mutu kurikulum pendidikan yang berubah-ubah ke arah instan dan penuh pendangkalan itu, baru saya paham tujuannya kemudian saat raksasa korporasi investasi swasta dunia di persilakan masuk ke dalam negeri ini. Guna tersedianya tenaga kerja kelas rendah sebagai pelayan si Raksasa. Sisa nya di ekspor! .. Pada titk ini saya mahfum sekaligus sedih, ternyata hak mandapat pendidikan yang 'layak' di negeri ini, rakyat harus pasrah sesuai siraman rohani dari departemen religius lembaga yang melekat dalam negara, harus tunduk kepada kepentingan penguasa negara nya sendiri. Sign puisi nya persis, berbuat demi keuntungan sendiri, pedang di kiri dan tombak di kanan : di kiri berpedang kekuasaan dan dikanan bertombak cita-cita luhur kepada seluruh rakyat. Sampai lahirlah tulisan saya berikut ini.)

Saudaraku sebangsa dan setanah-air, ..


Berjanjilah utk tidak berkeras mencari siapa benar, siapa salah, karena itu akan membuat kita berjalan tetap ditempat secara budaya dalam bernegara. Karena semua kepentingan demi Kemenangan Dapur Sendiri sudah terlanjur saling menunggangi. 
Semua sudah terlanjur. Terlanjur berbagai kepentingan kemenangan instan antar masing pribadi, demi rejeki masing keluarga, terlanjur tumpang tindih kini. Dan sebagai Harkat Negara kesatuan, kita harus bangkit dari titik terkusut ini, tanpa lagi membedakan apa etnisnya, apa sukunya, apa agamanya, apa profesinya. Karena Nalar Kemanusiaan adalah Universal. 

Disini kita harus jujur bahwa ada sisi baiknya : Toh, kita masih dapat mengucap rasa syukur atas 'cipratan berkah' nya juga dari adanya kesempatan mencari nafkah diantara puing-puing reruntuhan standar ideal berdirinya sebuah negara Indonesia. 

Baiklah, begini, ..

Wednesday, February 19, 2014

Thursday, February 13, 2014

RAKYAT INDONESIA bukan rakyat yang bodoh?



Bla .. Bla .. Bla .. begitulah selama ideologi negeri ini tidak sesuai dgn realitas korporasi raksasa investasi swasta yg merebak dimana-mana menguasai tanah negeri .. menguasai semua sektor kebutuhan hidup rakyatnya .. maka pendidikan politik bagi para pejabat negara adalah "yg Berkuasa, yang Enak namun, tetap upayakan agar Nalar Dangkal Rakyat dapat lebih bertahan lama".

Wednesday, February 12, 2014

Galang

ya, bersatulah semua kita, 
sesama saudara sebangsa, 
bersama bersuara bersatu tolak !