1.
Membaca kadar gula dalam secangkir kopi
panas nan harum buatan istri, sahabat, kerabat ataupun kekasih, cukup hanya
dengan satu seruput ujung sendok teh.
Pun begitu dengan hari ini, aku siap
berangkat, langit bersih tak berawan, menandakan ini adalah pagi yang cerah.
Hari yang tepat untuk mulai meninggalkan kebiasaan lama ku : membaca..
waktu.
Metro
mini, sebagai alternatif angkutan rakyat, benar-benar melakukan fungsinya dengan
baik. Rajin meraung dengan semburan asap hitam tebal, berhenti seenaknya,
mengangkut penumpang banyak-banyak hingga penuh sesak! Mat ada disitu, berdiri
diantara himpitan penuh keringat dan aroma parfum. Sambil mencoba tetap
bernafas.
Mat
benci dengan sebutan ‘penumpang’ di dalam angkutan ini. Kendaraan yang mau memberikan tumpangan, seolah sudah berbaik hati, karena itu
kernetnya berhak menindas, “geser, ayo geser, geser dikit, mas!”
Akhirnya
antara mereka, sesama penumpang, saling gencet, jadi hal yang biasa.
Badan
Metro mini sudah miring kekiri. Meliuk-liuk menembus kepadatan jalan raya.
Bergoyang pula badan para penumpang didalamnya.
“Sialan!” terdengar suara wanita berseragam, entah apa,
mungkin Sales
Promotion Girl,
sembari beringsut geser ke dekat Mat.
“Kenapa, dik?” tanya seorang ibu, berdiri persis dibelakang Mat.
“Itu bu, dia raba-raba pantat saya!’’ Orang yang dimaksud
mlengos, pura-pura tidak tahu.
“Ssst.., sudah. Berdiri disini saja. Dekat ibu. Turun dimana,
dik?
“Mega Mall, bu”
Wanita
berseragam itu, kini badannya merapat disisi Mat. Didalam air keruh, korupsi menggoda siapa saja, dimana saja.
Suara
mesin tetap meraung-raung, metro mini berhenti mendadak. Satu penumpang turun,
dua orang tergesa naik. Keadaan tetap sama, penuh sesak! Bertambah
sesak bahkan.
Bernafas
saja sulit.
“Geser,
geser, mas”, suara kernet yang tadi. Otomatis semua kembali mencoba geser,
saling menekan. Wanita berseragam tadi, terasa memeluk pinggang Mat. Mencari
pegangan.
“ Maaf, ya, mas” ujar nya. Hmm .. manis juga.
Seharusnya
ada metro mini khusus wanita, anak-anak, dan manula. Ini demi keteraturan
kemanusiaan. Secara perlahan, dan bertahun-tahun, pasti jika semua sarana umum
di desain semacam itu, dampaknya akan merubah pula perangai “semau gue” jadi lebih
penuh budi-pekerti antar individu masyarakat urban perkotaan di negeri ini.
Rasa saling menghargai adalah bentuk standar dari nilai kemanusiaan. Tetapi
semua itu bergantung pada pengelolaannya seperti apa.., begitulah
pikiran Mat, menerawang jauh.
“Gambbir, gambir? Ada
turun?? Ayo, gambirrr, gambiiir !! “
“Maaf, saya duluan turun”, pamit Mat pelan pada wanita tadi
“Ada! tunggu..tunggu!!” seraya bersusah-payah menembus sesaknya himpitan kumpulan
daging dan tulang yang bernama penumpang
itu..
Wuaah,
inilah hidup!
Udara
segar berebut masuki saluran pernafasan Mat. Sejuk karena baju basah-kuyup nya
dapat di hembus semilir angin. Nikmat.
Dari
gambir, Mat harus sambung naik Bajaj ke jalan Cikini raya. Ongkosnya berapa, ya? Mat memeriksa tas pinggang.
… … … !
Tidak
ada??! Astaga! Ada KTP, uang, serta sebuah telepon genggam, semua hilang ..!!
“Tenang, tenang.. “ Akal sehat berbisik dari
dalam kepala Mat. “ Sekarang tarik nafas
dalam-dalam.. tahan sebentar.. lalu hembuskan pelan-pelan..”
Namun tetap saja lutut nya
lemas! Harapan Mat tentang segala hal baik dari cerahnya hari ini, musnah
seketika. Kembali terbayang suasana penuh sesaknya dalam metro mini tadi, gadis
berseragam yang memeluk pinggangnya, lelaki yang di tuduh si gadis telah
melakukan pelecehan seksual terhadapnya, ibu yang menegur si gadis. Semua
peristiwa berkelebat jadi kilasan gambar-gambar di kepala Mat.
Setiap peristiwa pahit yang terjadi dan
menimpa diri adalah buah dari frekuensi buruk yang pernah sukma diri itu buat dan
alami di masa-masa lalu, jauh melampaui kehidupan saat ini. Dan lupa adalah hal
yang menyebabkan mata-rantai sebab-akibat hukum alam dari peristiwa pahit itu seolah
tidak ada.
Demikian kata-kata dari
sebuah buku yang pernah Mat baca, sayang Mat juga lupa judul dan penulisnya,
terlintas begitu saja dalam pikirannya.
“Jika
ini adalah hukuman akibat perbuatanku di masa dulu, paling tidak sekarang beban
kesalahanku sudah berkurang..”, perlahan
Mat coba menarik nafas dalam-dalam.
“Biarin aja orang ngelakuin penghinaan
atau penganiayaan terhadap kamu.
Ikhlasin aja. Itung-itung ngurangin dosa
.. “
Terngiang lagi ucapan
orang-tua di kampung Mat dulu. Mat tercenung..
Apa
yang harus ku lakukan sekarang?
Hari sudah mulai siang.
Ku
renungi diriku sendiri sambil berjalan kaki saja, menuju rumah seorang kawan di
sekitar Cikini Raya, untuk coba menghindar, untuk coba mulai meninggalkan
kebiasaan lama ku : membaca. Membaca buku, membaca peristiwa, membaca
orang-orang,..
Ya,
membaca.
Ah kenapa
juga aku mesti meninggalkan kebiasaan itu? Bukankah hanya dengan berbekal
pengalaman membaca, kini aku dapat berdamai dengan gejolak perasaanku sendiri
tadi? Begitu bunyi pikiran
Mat berjalan, mengikuti langkah kakinya.
Udara mulai terasa panas.
Asap kendaraan, debu jalanan, dan suara bising klakson betabur jadi tanda baca
“Jakarta yang bergairah”
Basah lagi baju Mat oleh
keringat. Gerobak penjual minuman dingin, baru saja terlewat. Tiba-tiba saja ia
merasa haus. Diam-diam sambil lalu, Mat memeriksa semua kantong, mulai dari
saku kemeja, kantong celana depan, kantong celana belakang.
Ternyata
benar, aku tak ber-uang sama sekali.
… !
Menahan
diri adalah sesuatu yang berat. Ia melatih ketangguhan mental sang juara.
Sanggupkah
aku?
Langkah kaki segera Mat
mantapkan, semangat di bulatkan. Untuk tetap
terus melangkah.
Di depan sana, di sebuah
Halte Bus, pengemis bersimpuh duduk dilantai menggendong seorang anak balita. Mengenaskan
bersama terik matahari dan segerombolan lalat. Dalam sebuah acara reality show investigasi di sebuah TVswasta,
pernah terungkap bahwa rata-rata pengemis dan anak-anak terlantar di Jakarta
terorganisir rapi oleh seorang Bos. Jadi belum tentu ia anak kandung dari
pengemis itu. Siasat orang dewasalah yang menyebabkan anak itu terjebak
terlibat didalamnya. Memancing rasa iba.. Menjaring simpati..
Ah, ..
siasat atau bukan, keberadaan kondisi pengemis itu sekarang, membuatku tetap
bersyukur, juga orang-orang yang berdiri di Halte Bus itu tentunya, bahwa sesulit
apapun persoalan mereka dalam hidup ini, ada yang mengalaminya dengan keadaan
yang lebih sulit, lebih mengenaskan ..
Ya,
keberadaan semua manusia ada dalam maksudNYA..
Diantara kendaraan yang
bersliweran, gedung-gedung perkantoran tinggi menjulang, ada bunyi klakson,
asap knalpot, dan debu yang jadi satu, di jalan badan Mat keringat dingin.
Awalnya rasa pening itu
tidak mengganggu, tetapi lama-lama membuat langkah kaki Mat jadi kurang sigap. Sudah
terantuk trotoar dua kali.
Rasa haus dan teriknya matahari,
memang satu paket cobaan yang mau tak mau Mat harus jujur : sangat menyiksa ! Kedua
telapak tangan kaku rasanya.
Tempelkan
ujung lidah selama mungkin, ke langit-langit rongga mulut, agar muncul dan
terkumpul air-liur segar yang lumayan untuk membasahi tenggorokan.
Terngiang kata-kata almarhum
seorang Penyair dan Dramawan besar di negeri ini, saat Mat hadir dalam perbincangan
di Padepokan Beliau. Dan ternyata sekarang, jurus itu cukup menolong. Terimakasih, mas Willy!
2.
Disebuah taman kota yang
sepi, terselip sebuah percakapan.
“
Namanya Mat Kasdut, usia .. hmm .. 22 tahun “, kata si wanita.
“Duitnya
cuma 44 ribu doang.. Buang jauh-jauh tuh
KTP” sambung seorang lelaki disebelahnya,..
“Tapi
HP nya lumayan, nih. Bisa laku sejuta. 900 ribu mah cepet”
“Hihi
hi .. akting ku lumayan juga gak tadi?”
“Lebih
dari lumayan” puji si lelaki.
“
Hihihi hi ..aku gitu, lho” ujar si wanita sambil melempar terbang Kartu Tanda
Penduduk yang barusan dibacanya.
“
Ayo, kita cabut dari sini”
3.
Terik matahari seperti
sengaja memanggang pikiran di setiap ubun-ubun. Agar setiap harapan tetap panas
menggelora. Agar setiap upaya terperinci dengan matang. Pun meski sudah begitu kadang
datang persoalan air mata dan keringat, yang kerap jadi alasan, mengancam
berubahnya pertimbangan, berubahnya tujuan. Apa jadinya jika tanpa itu? : Upaya
yang terperinci dengan matang.
Sekarang
adu tekad dengan matahari.. , Mat tetap terus berjalan,
dua telapak tangannya sesekali terkepal. Tidak terlalu mencolok, tetapi itulah
saatnya, setiap ada gerobak penjual minuman segar dingin di tepi jalan terlihat,
atau seseorang sedang minum di warung, atau melalui papan reklame yang
terpasang besar di tepi jalan tentang merk minuman “pelepas dahaga asli” bagi
orang dewasa atau anak-anak , pikiran Mat menjadi satu dengan ilusi kesegaran
itu. Air liur bening yang sengaja ia kumpulkan di dalam mulut, pelan-pelan ia
telan.. Begitu berulang-ulang.
Tiba-tiba diseberang jalan ia
seperti melihat sosok yang pernah dikenalnya. Persis di depan Kantor Pos
Cikini, dahi Mat berkerut.
Seorang wanita, berdiri
ditepi jalan sedang mencoba menyetop sebuah Bajaj
namun ia tidak berhasil. Benar, itu wanita manis berseragam seperti SPG tadi
yang sempat berhimpitan dan memeluk pinggangnya di dalam metro mini.
Mat tersenyum kecil. Ia
berniat melanjutkan perjalanannya, tapi nanti dulu,..
Ada
tas pinggang merah di tangan wanita itu!
Itu
milikku.
Mungkin saja terjatuh di
dalam metro mini tadi dan wanita manis itu berniat mengembalikan.. Berdebar
dada Mat.
Ah,
tidak perlu repot-repot untuk mendatangi alamat ku di KTP, kan kita sudah ketemu disini?
Kegembiraannya bangkit.
Di seberang sana, ada
seorang lelaki menghampiri wanita itu. Mereka saling bicara. Lelaki mengambil
tas pinggang merah dari si wanita. Kemudian melemparnya, atau lebih tepat :
membuangnya!!
Astaga.. itu kan si peraba pantat tadi??
Lho?!
Mat bergegas menghampiri keduanya di seberang jalan. Ada rasa marah hinggap di dadanya kini. Biar mereka tahu, ular sendok melibas pemburu. Dulu semasa di kampung, Mat sempat belajar silat dari guru ngajinya. Jadi sekarang ia yakin betul, ia tidak gentar.
Tangan "si peraba pantat" melambai. Sebuah Bajaj menepi. Mereka berdua cepat naik dan pergi..
No comments:
Post a Comment