Friday, March 30, 2012

Episode

1.
Membaca kadar gula dalam secangkir kopi panas nan harum buatan istri, sahabat, kerabat ataupun kekasih, cukup hanya dengan satu seruput ujung sendok teh.
Pun begitu dengan hari ini, aku siap berangkat, langit bersih tak berawan, menandakan ini adalah pagi yang cerah. Hari yang tepat untuk mulai meninggalkan kebiasaan lama ku : membaca..

Dijalan orang-orang bergegas mengejar harapannya masing-masing. Berpacu dengan
waktu.



Metro mini, sebagai alternatif angkutan rakyat, benar-benar melakukan fungsinya dengan baik. Rajin meraung dengan semburan asap hitam tebal, berhenti seenaknya, mengangkut penumpang banyak-banyak hingga penuh sesak! Mat ada disitu, berdiri diantara himpitan penuh keringat dan aroma parfum. Sambil mencoba tetap bernafas.

Mat benci dengan sebutan ‘penumpang’ di dalam angkutan ini. Kendaraan yang mau memberikan tumpangan, seolah sudah berbaik hati, karena itu kernetnya berhak menindas, “geser, ayo geser, geser dikit, mas!”
Akhirnya antara mereka, sesama penumpang, saling gencet, jadi hal yang biasa.

Badan Metro mini sudah miring kekiri. Meliuk-liuk menembus kepadatan jalan raya. Bergoyang pula badan para penumpang didalamnya.

“Sialan!” terdengar suara wanita berseragam, entah apa, mungkin Sales
Promotion Girl, sembari beringsut geser ke dekat Mat.

“Kenapa, dik?” tanya seorang ibu, berdiri persis dibelakang Mat.
“Itu bu, dia raba-raba pantat saya!’’ Orang yang dimaksud mlengos, pura-pura tidak tahu.
“Ssst.., sudah.  Berdiri disini saja. Dekat ibu. Turun dimana, dik?
“Mega Mall, bu”

Wanita berseragam itu, kini badannya merapat disisi Mat. Didalam air keruh, korupsi menggoda siapa saja, dimana saja.

Suara mesin tetap meraung-raung, metro mini berhenti mendadak. Satu penumpang turun, dua orang tergesa naik. Keadaan tetap sama, penuh sesak! Bertambah sesak bahkan.

Bernafas saja sulit.

“Geser, geser, mas”, suara kernet yang tadi. Otomatis semua kembali mencoba geser, saling menekan. Wanita berseragam tadi, terasa memeluk pinggang Mat. Mencari pegangan.

“ Maaf, ya, mas” ujar nya. Hmm .. manis juga.

Seharusnya ada metro mini khusus wanita, anak-anak, dan manula. Ini demi keteraturan kemanusiaan. Secara perlahan, dan bertahun-tahun, pasti jika semua sarana umum di desain semacam itu, dampaknya akan merubah pula perangai “semau gue” jadi lebih penuh budi-pekerti antar individu masyarakat urban perkotaan di negeri ini. Rasa saling menghargai adalah bentuk standar dari nilai kemanusiaan. Tetapi semua itu bergantung pada pengelolaannya seperti apa.., begitulah pikiran Mat, menerawang jauh.  

“Gambbir, gambir? Ada turun?? Ayo, gambirrr, gambiiir !! “

“Maaf, saya duluan turun”, pamit Mat pelan pada wanita tadi “Ada! tunggu..tunggu!!” seraya bersusah-payah menembus sesaknya himpitan kumpulan daging dan tulang yang bernama penumpang itu..

Wuaah, inilah hidup!

Udara segar berebut masuki saluran pernafasan Mat. Sejuk karena baju basah-kuyup nya dapat di hembus semilir angin. Nikmat.
Dari gambir, Mat harus sambung naik Bajaj ke jalan Cikini raya. Ongkosnya berapa, ya? Mat memeriksa tas pinggang.
 … … … !

Tidak ada??! Astaga! Ada KTP, uang, serta sebuah telepon genggam, semua hilang ..!!

“Tenang, tenang..   Akal sehat berbisik dari dalam kepala Mat. “ Sekarang tarik nafas dalam-dalam.. tahan sebentar.. lalu hembuskan pelan-pelan..”

Namun tetap saja lutut nya lemas! Harapan Mat tentang segala hal baik dari cerahnya hari ini, musnah seketika. Kembali terbayang suasana penuh sesaknya dalam metro mini tadi, gadis berseragam yang memeluk pinggangnya, lelaki yang di tuduh si gadis telah melakukan pelecehan seksual terhadapnya, ibu yang menegur si gadis. Semua peristiwa berkelebat jadi kilasan gambar-gambar di kepala Mat.

Setiap peristiwa pahit yang terjadi dan menimpa diri adalah buah dari frekuensi buruk yang pernah sukma diri itu buat dan alami di masa-masa lalu, jauh melampaui kehidupan saat ini. Dan lupa adalah hal yang menyebabkan mata-rantai sebab-akibat hukum alam dari peristiwa pahit itu seolah tidak ada.

Demikian kata-kata dari sebuah buku yang pernah Mat baca, sayang Mat juga lupa judul dan penulisnya, terlintas begitu saja dalam pikirannya.

“Jika ini adalah hukuman akibat perbuatanku di masa dulu, paling tidak sekarang beban kesalahanku sudah berkurang..”,  perlahan Mat coba menarik nafas dalam-dalam.

“Biarin aja orang ngelakuin penghinaan atau penganiayaan terhadap kamu.
Ikhlasin aja. Itung-itung ngurangin dosa .. “

Terngiang lagi ucapan orang-tua di kampung Mat dulu. Mat tercenung..

Apa yang harus ku lakukan sekarang?

Hari sudah mulai siang.

Ku renungi diriku sendiri sambil berjalan kaki saja, menuju rumah seorang kawan di sekitar Cikini Raya, untuk coba menghindar, untuk coba mulai meninggalkan kebiasaan lama ku : membaca. Membaca buku, membaca peristiwa, membaca orang-orang,..

Ya, membaca.

Ah kenapa juga aku mesti meninggalkan kebiasaan itu? Bukankah hanya dengan berbekal pengalaman membaca, kini aku dapat berdamai dengan gejolak perasaanku sendiri tadi?  Begitu bunyi pikiran Mat berjalan, mengikuti langkah kakinya.

Udara mulai terasa panas. Asap kendaraan, debu jalanan, dan suara bising klakson betabur jadi tanda baca “Jakarta yang bergairah”

Basah lagi baju Mat oleh keringat. Gerobak penjual minuman dingin, baru saja terlewat. Tiba-tiba saja ia merasa haus. Diam-diam sambil lalu, Mat memeriksa semua kantong, mulai dari saku kemeja, kantong celana depan, kantong celana belakang.
Ternyata benar, aku tak ber-uang sama sekali.   
… !
Menahan diri adalah sesuatu yang berat. Ia melatih ketangguhan mental sang juara.  
Sanggupkah aku?  

Langkah kaki segera Mat mantapkan, semangat di bulatkan. Untuk tetap terus melangkah.

Di depan sana, di sebuah Halte Bus, pengemis bersimpuh duduk dilantai menggendong seorang anak balita. Mengenaskan bersama terik matahari dan segerombolan lalat. Dalam sebuah acara reality show investigasi di sebuah TVswasta, pernah terungkap bahwa rata-rata pengemis dan anak-anak terlantar di Jakarta terorganisir rapi oleh seorang Bos. Jadi belum tentu ia anak kandung dari pengemis itu. Siasat orang dewasalah yang menyebabkan anak itu terjebak terlibat didalamnya. Memancing rasa iba.. Menjaring simpati..

Ah, .. siasat atau bukan, keberadaan kondisi pengemis itu sekarang, membuatku tetap bersyukur, juga orang-orang yang berdiri di Halte Bus itu tentunya, bahwa sesulit apapun persoalan mereka dalam hidup ini, ada yang mengalaminya dengan keadaan yang lebih sulit, lebih mengenaskan ..  
Ya, keberadaan semua manusia ada dalam maksudNYA.. 

Diantara kendaraan yang bersliweran, gedung-gedung perkantoran tinggi menjulang, ada bunyi klakson, asap knalpot, dan debu yang jadi satu, di jalan badan Mat keringat dingin.

Awalnya rasa pening itu tidak mengganggu, tetapi lama-lama membuat langkah kaki Mat jadi kurang sigap. Sudah terantuk trotoar dua kali.
Rasa haus dan teriknya matahari, memang satu paket cobaan yang mau tak mau Mat harus jujur : sangat menyiksa ! Kedua telapak tangan kaku rasanya.

Tempelkan ujung lidah selama mungkin, ke langit-langit rongga mulut, agar muncul dan terkumpul air-liur segar yang lumayan untuk membasahi tenggorokan.

Terngiang kata-kata almarhum seorang Penyair dan Dramawan besar di negeri ini, saat Mat hadir dalam perbincangan di Padepokan Beliau. Dan ternyata sekarang, jurus itu cukup menolong. Terimakasih, mas Willy!  

2.
Disebuah taman kota yang sepi, terselip sebuah percakapan.

“ Namanya Mat Kasdut, usia .. hmm .. 22 tahun “, kata si wanita.
“Duitnya cuma 44 ribu doang..  Buang jauh-jauh tuh KTP”  sambung seorang lelaki disebelahnya,..
“Tapi HP nya lumayan, nih. Bisa laku sejuta. 900 ribu mah cepet”
“Hihi hi .. akting ku lumayan juga gak tadi?”
“Lebih dari lumayan” puji si lelaki.
“ Hihihi hi ..aku gitu, lho” ujar si wanita sambil melempar terbang Kartu Tanda Penduduk yang barusan dibacanya.
“ Ayo, kita cabut dari sini”

3.  
Terik matahari seperti sengaja memanggang pikiran di setiap ubun-ubun. Agar setiap harapan tetap panas menggelora. Agar setiap upaya terperinci dengan matang. Pun meski sudah begitu kadang datang persoalan air mata dan keringat, yang kerap jadi alasan, mengancam berubahnya pertimbangan, berubahnya tujuan. Apa jadinya jika tanpa itu? : Upaya yang terperinci dengan matang.
Sekarang adu tekad dengan matahari.. , Mat tetap terus berjalan, dua telapak tangannya sesekali terkepal. Tidak terlalu mencolok, tetapi itulah saatnya, setiap ada gerobak penjual minuman segar dingin di tepi jalan terlihat, atau seseorang sedang minum di warung, atau melalui papan reklame yang terpasang besar di tepi jalan tentang merk minuman “pelepas dahaga asli” bagi orang dewasa atau anak-anak , pikiran Mat menjadi satu dengan ilusi kesegaran itu. Air liur bening yang sengaja ia kumpulkan di dalam mulut, pelan-pelan ia telan..  Begitu berulang-ulang.

Tiba-tiba diseberang jalan ia seperti melihat sosok yang pernah dikenalnya. Persis di depan Kantor Pos Cikini, dahi Mat berkerut.

Seorang wanita, berdiri ditepi jalan sedang mencoba menyetop sebuah Bajaj namun ia tidak berhasil. Benar, itu wanita manis berseragam seperti SPG tadi yang sempat berhimpitan dan memeluk pinggangnya di dalam metro mini.
Mat tersenyum kecil. Ia berniat melanjutkan perjalanannya, tapi nanti dulu,..    

Ada tas pinggang merah di tangan wanita itu!

Itu milikku.

Mungkin saja terjatuh di dalam metro mini tadi dan wanita manis itu berniat mengembalikan.. Berdebar dada Mat.

Ah, tidak perlu repot-repot untuk mendatangi alamat ku di KTP, kan kita sudah  ketemu disini?  

Kegembiraannya bangkit.

Di seberang sana, ada seorang lelaki menghampiri wanita itu. Mereka saling bicara. Lelaki mengambil tas pinggang merah dari si wanita. Kemudian melemparnya, atau lebih tepat : membuangnya!!
 Astaga.. itu kan si peraba pantat tadi??   

Lho?!

Mat bergegas menghampiri keduanya di seberang jalan. Ada rasa marah hinggap di dadanya kini. Biar mereka tahu, ular sendok melibas pemburu. Dulu semasa di kampung, Mat sempat belajar silat dari guru ngajinya. Jadi sekarang ia yakin betul, ia tidak gentar.   

Tangan "si peraba pantat" melambai. Sebuah Bajaj menepi. Mereka berdua cepat naik dan pergi..
  




(to be continued) 

No comments:

Post a Comment