Wednesday, July 17, 2013

Cuma Penggembira Lu!


Sebagai presiden kedua di anak tangga ke satu, sejak iklim politik era alm.Jenderal Soeharto,  
yang memang lebih dekat dengan tanah, 
sembako murah, 
banyak arena permainan yang menghasilkan, 
yang memang terestafet dalam enam repelita. 

Berlanjut ke presiden ke tiga di anak tangga kedua, 
ketiga, 
ke empat, 
ke lima.. 
dan rupa-rupa warnanya, 
tapi berbenang-merah sama hingga 2013 sekarang, 

memang seperti apa potret suasana seluruh rakyat tergantung dari kualitas corak iklim kekuasaannya seperti apa..? atau sebaliknya?

terlanjur nyata mendidik kualitas mayoritas rakyat yang mau tak mau cuma jadi Penggembira justru dinegeri kaya sumber daya alamnya..

Bukan berarti saya juga tidak begitu.

Bukan berarti saya bukan Penggembira.

Bukankah kita pernah terbentuk dan beradaptasi bersama, di jaman yang sama? 

Sama-sama semasa sekolah dasar sampai perguruan tinggi, masuk jadi pegawai negeri atau jadi pegawai swasta: setiap senin pagi menghormat bersama dalam ritual upacara bendera, mengucap ayat-ayat Pancasila yang di tuntunkan, termasuk Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945? Sampai semangat heroik NKRI harga mati, berkumandang dimana-mana. Dan sama-sama juga pada detik ini kita tahu kenyataan bahwa itu cuma slogan? 

Anak sekolah dasar, anak smp, smu, anggota dpr, polisi, tentara, sampai pemimpin umat beragama, tak ada yang tak kenal istilah tawuran..


Saat keadaan justru memiting kesadaran semua rakyat, (engkau termobilisasi memilihnya, kemudian engkau kecewa dan murka?) biasanya lantas membabi-buta mengganyang saudara dari ras minoritas, yang memang nyatanya berjuang lebih keras dari yang lain sebab sadar dalam perantauan. Mengapa tragedi itu kembali selalu terulang? 


Bukankah terlihat sudah bahwa kekuasaan di lapis atas itu sama saja dengan cerminan di lapis bawahnya? Begitu juga sebaliknya dan bertahan begitu lama.. sampai detik ini. Sampai rakyat negeri berazas dasar Kerakyatan kini tergiring mau tak mau jadi swasta-swasta kecil dan terhisap swasta-swasta besar..

Bukankah terlihat sudah bahwa setinggi apapun nilai-nilai luhur yang ditanamkan, "ia" akan hancur jika berhadapan dengan kemiskinan dan kekuasaan dibawah rayuan poster dagang budaya asing? 

Sebagai seorang arsitek. 
Juga sebagai Presiden pertama. 
Ingat kah Beliau sempat melarang budaya asing menghujani Indonesia yang baru merdeka?




Agaknya inilah alasan Beliau: karena bangunan konstruksi kebudayaan kita belum kuat, 
sayap anak burung garuda pada waktu itu masih terlalu muda, 
dan baru belajar terbang. 

Agaknya alasan beliau, tak didengar mereka yang seperti kuda lari-lepas pingitan, mengecam, kebijakan itu dilanggar, 
di tentang, 
dari lapisan generasi 
yang memburu histerisnya rasa Merdeka..


(Inilah agaknya awal dari kenapa sekarang kita lebih "bule" dari orang "bule", ya? )

No comments:

Post a Comment